Sabtu, 30 November 2013

Demi Guggenheim... Aroma Pelitur Itu Sungguh Tercium..


Judul Buku                :  Memori
Penulis                        :  Windry Ramadhina
Penerbit                      :  GagasMedia
Terbit                         :  2012
Tebal Buku                :  viii + 304 halaman
ISBN                           :  979-780-562-x

Setelah aku jatuh cinta pada Montase, kali ini aku bertekuk lutut pada Memori. Kenapa baru sekarang ya, aku baca novel yang keren ini. Ah, itu tidak penting. Better late than never.

Aku suka sekali judul novel Windry. Itu juga impianku bila kelak menyelesaikan sebuah novel. Aku ingin menggunakan hanya satu kata saja. Impianku ini sebelum mengetahui keberadaan novel-novel Windry lho, yang kesemuanya hanya menggunakan satu kata.

Ini novelnya arsitek banget. Dari halaman pertama sudah tercecap rasa arsitek yang kental. Deskripsi desain interior sebuah rumah, sangat detil dan seperti terpampang di depan mata. Dan dari halaman pertama itu, ternyata hingga akhir, pembaca tersedot ke dalam dunia arsitek.

Adalah Mahoni, arsitek cantik, yang menjadi tokoh sentral. Masa kecilnya tersuramkan oleh perceraian kedua orangtuanya. Hanya sekejap ia merasakan kehangatan kasih sayang seorang ayah, selanjutnya ia dibawa menjauh oleh ibunya. Lalu hidupnya dibayangi oleh dendam dan nestapa yang senantiasa mewarnai hari-hari ibunya, yang seorang penulis. Bahkan novel-novel yang ditulis ibunya selalu penuh dengan kegetiran. Dunia yang muram itulah yang diembuskan oleh ibunya ke dalam kehidupan Mahoni.

Alur maju mundur ditempatkan dalam porsi yang pas. Mahoni bertutur tentang masa kini, sesekali melompat ke belakang, berganti-ganti, dari masa kecilnya, kenangan bersama Papanya, hingga masa kuliahnya saat berinteraksi dengan teman lelakinya, Simon.

Setting selalu menarik di tangan Windry. Detil menjadi ciri khasnya. Suatu tempat benar-benar dibentangkan wujudnya di hadapan pembaca. Menyenangkan, jauh dari kesan sok tahu. Virginia dan Jakarta, keduanya mendapat perlakuan sama.

Sebagai seorang arsitek, Windry tampaknya memang berjiwa seni tinggi. Terlihat dari pilihan katanya. Tertata artistik. Tidak terbawa arus dalam kegenitan diksi. Sepintas kadang mirip gaya novel terjemahan. Seperti kebiasaan Mahoni memanggil ibunya, hanya memanggil nama saja.

Konflik muncul teratur, tidak meledak-ledak, tapi cukup mengaduk emosi. Diawali kematian Papanya, Mahoni mulai terbentur pada masalah-masalah yang membuyarkan rencana hidupnya. Meski ada unsur kebetulan, tiba-tiba Mahoni berjumpa dengan teman lelaki dari kenangan lalunya, namun sama sekali tidak terasa unsur sinetronistik. Kejadiannya terbungkus cantik. Sebuah kebetulan yang elegan.

Kesunyian yang menyergap Mahoni, kerinduan alam bawah sadarnya akan kehangatan sebuah keluarga, mengemuka secara kuat namun penyampaiannya halus, tidak emosionil. Demikian pun perasaan yang berkembang antara Mahoni dan Simon, tidak straight to the point, tapi mengalun lembut.

Munculnya Sofia, antara Mahoni dan Simon, sangat membantu gerak cerita. Terasa manusiawi, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalahnya. Mahoni dengan sikap keperempuanannya yang tentu memikirkan perasaan sesama perempuan, lalu Simon yang rasionil dan memiliki ego khas lelaki. Kepungan masa lalu yang memenuhi pikiran Mahoni, membuat langkahnya tersendat. Ditambah kehadiran Sigi, adik tirinya, membuat kisah cinta dalam novel ini tidak dibikin terlalu mudah, namun terasa natural. Yah, begitulah dalam hidup. Kadang kita menemukan hal yang selalu dihindari, tapi ternyata hal tersebut malah melekat dalam kehidupan. Kita harus menghadapinya dengan meluaskan jarak pandang dalam alam pikir disertai sugesti positif. Karena hidup menjadi ceria atau suram, kita lah yang menentukan.

Yang menarik juga dari Windry adalah, nama tokoh-tokohnya keren dan tidak biasa. Dalam Montase, ada Rayyi (Bao), Bev (Bevani), Samuel Hardi, Sube, dll. Tapi tidak euphoria nama aneh juga, karena ada nama yang sangat biasa, semisal: Andre, Mirna. Begitu pun dalam Memori, selain Mahoni, ada nama Mae, Sigi, Neri, Regulus, Ni Mar, tapi tetap ada nama Nisa, Pak Sur, yang biasa-biasa saja.

Oh ya, aku tidak merasa perlu menceritakan sinopsis novel ini. Baca saja sendiri. Aku khawatir kalau ada sinopsis, akan mengurangi kenikmatanmu berasyik masyuk dengan novel ini.. J

Boleh saja ada yang berpendapat, tidak heran novel ini sangat arsitek karena Windry memang arsitek. Tapi kukira, itu tidak berbanding lurus begitu, kan? Bahkan aku benar-benar merasa bisa mencium aroma pelitur yang menguar dari bengkel Papa Mahoni. Menuliskan detil, bercerita panjang lebar tentang dunia arsitek, membutuhkan sentuhan citarasa yang berkelas. Dan.. demi Guggenheim.. Windry nyaris sempurna melakukannya.   

So, maafkan aku kalau aku tidak berhasil menemukan bagian yang janggal atau bahkan buruk dalam novel ini. Semuanya aku suka. Terserah, kau mau bilang aku terlalu tergila-gila pada novel ini. Dalam hal ini mungkin benar, cinta itu buta.. J

Baiklah.. baiklah.. akhirnya aku menemukan bagian itu. Entah, apa ini menjadi khas Windry, tapi selalu ada kissing lips yang cukup membuatku.. ehm.. sedikit jengah. Biasanya diawali dengan kecupan kejutan yang tiba-tiba. Bukan ciuman yang direncanakan, tapi efeknya menggetarkan. Maka, ada kecupan susulan yang lebih mengandung.. apa ya? gairah..? yah, semacam itulah.. Nggak banyak juga sih, sekitar sekali atau dua kali saja.


Aku berharap, setelah ini aku bisa menemukan dua novel Windry yang lainnya, Orange dan Metropolis. Kemarin aku menghubungi tobuk online, dan hasilnya nihil. Apakah kau mau berbaik hati mencarikannya untukku? Atau boleh kubeli koleksimu? 

6 komentar:

  1. resensi mbak linda selalu keren. aq belum baca novel ini dan jadi kepengen (lagi) soalnya kemarin lebih pengen baca montase... :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. thanx ya Fit..
      kapan dong aku ngereview novelnya Fitri..? :)

      Hapus
  2. Makasiih Mas Imam.. salam kenal.. :)

    BalasHapus
  3. Mbak Linda jadi kecanduan novelnya Windry ya. Jadi penasaran baca novelnya dia ^^

    Oya mbak, komentar disetting untuk URL biar memudahkan untuk komen balik mbak. Biar lebih ramai blognya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Btul Mbak, jadi mencandu.. hehe..
      novelnya asyik banget sih.. kereen..

      Hapus