Selasa, 20 Maret 2012

Menyesap Nikmatnya Tarapuccino

Saya suka membaca, lalu akhir-akhir ini suka menulis juga, tapi menuliskan apa yang dibaca,  baru 1-2 kali saja saya lakukan.  Sekarang saya ingin melakukannya lagi, untuk novel “Tarapuccino”. Entah ini tergolong ke dalam resensi atau bukan.

Novel ini ditulis oleh Riawani Elyta dan Rika Y. Sari. Nama yang pertama disebut, lebih eksis dalam dunia kepenulisan, dengan deretan prestasinya dalam Lomba-lomba Menulis bergengsi tingkat nasional.

Kisah dalam novel ini berpusat  pada geliat sebuah  kedai roti, bertajuk “Bread Time”, yang dikelola dua orang pengusaha muda, Tara dan Raffi. Gejolak muncul setelah bergabungnya seorang pemuda ahli desain grafis, Hazel, ke dalam bakery  tersebut. “Bread Time” yang tengah naik daun itu, mengalami kejadian naas secara beruntun yang nyaris menghancurkan nama baiknya.

Cerita mengalir dengan sentuhan suspense yang cukup kuat. Pembaca dibuat penasaran dengan aneka konflik yang proses menuju penyelesaiannya tidak mudah ditebak. Hadir pula, seorang mahasiswa drop out dan mantan aktivis yang kemudian terlibat dalam sindikat illegal trading, demi menyambung hidup adik-adik tiri dan ibu tirinya juga.  Pemuda misterius itu bernama Ahmadiaz Syah Reza. Meski mudah ditebak keterkaitan antara Diaz dengan Hazel, namun bagaimana misteri itu terkuak, disampaikan penulis dengan elegan.

Yang juga mengundang decak kagum pada novel ini adalah kepiawaian penulis mengolah detil. Ini memperlihatkan bahwa penulis seorang yang pintar dan berwawasan luas. Bagaimana penggambaran operasi terselubung sebuah sindikat illegal trading, bagaimana lika-liku dan seluk beluk sebuah usaha kuliner modern, juga betapa kecanggihan IT merupakan hal yang seolah biasa dan ‘seharusnya’ pembaca mengerti, ditampilkan secara detil namun tetap menawan.



Nilai-nilai islami yang kental, yang kerap muncul dalam novel ini, sangatlah patut diacungi jempol. Meski pada beberapa bagian terasa dipaksakan, tapi secara keseluruhan, usaha penulis untuk mengusung nilai-nilai Islam ini, menjadikannya berbeda dengan novel-novel lain. Apalagi halaman pertama ditandai dengan lafaz ‘Bismillaahirrahmaanirahiim’, wow..

Sungguh, ini novel yang berkelas, dengan racikan cerita yang tak biasa. Walau tak lepas dari kisah cinta yang anggun mengalun, namun itu menjadi semacam pemanis saja, karena yang tercium kuat adalah aroma detektif. Penulis pun membiarkan setting berbicara.  Benar-benar keren, bahkan saya pun jadi merasa keren karena mengulas novel ini (halah!)

Oh ya, saya suka covernya, manis dan bercita rasa tinggi. Seorang pemuda dengan cinnamon cappuccino dihadapannya, duduk bersampingan dalam jarak yang tidak dekat dengan seorang perempuan berjilbab panjang. Mereka menatap laut dengan latar kota modern, cukup mewakili penggambaran Batam yang menjadi setting sentralnya. Tapi, saya sebetulnya pingin nanya, apakah warna peach itu seperti warna jilbab sang perempuan? Rasanya kurang pas..

Lalu, apa ya kekurangan novel ini? ehm.. secara fisik, saya lebih suka kalau ukuran bukunya tidak berbentuk bujur sangkar. Kemudian, dari segi isi, saya merasa ada ketidaksesuaian waktu pada ending, namun menurut penulisnya sih, bukan hal yang prinsipil. Endingnya yang terbuka, tak masalah, namun kemunculan Hazel yang tiba-tiba dalam kondisi sukses, agak-agak terkesan sinetron.

Anyway busway, ga bakal nyesel kalau beli novel ini. Membacanya adalah sebuah kenikmatan yang nikmat. Dengan pilihan kata yang terjalin apik. So.. tunggu apa lagi..? ayo.. baca!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar